Kamis, 12 Juli 2012



ASAS CABOTAGE
(Inpres No.5 Tahun 2005)

Berlakunya United Nation Conventian On The Law Of The Sea (UNCLOS 1982) konfigurasi perairan Indonesia meliputi ; perairan pedalaman (internal water), perairan kepulauan (archipelagic water), laut wilayah (territorial sea), zona tambahan (contiguous zone), landas kontinen (continental shelf) dan zona ekonomi eksklusif (zona economi exclusive). Wilayah laut yang menjadi kedaulatan Indonesia adalah Perairan kepulauan seluas 2,8 juta km2 dan laut wilayah seluas 0,366 juta km2. sedangkan zona ekonomi esklusif seluas 2,7 juta km2. dengan demikian luas wilayah yurisdiksi laut nasional Indonesia adalah 5,8 juta km2. Bagi bangsa Indonesia, laut dan perairan secara alami menjadi lingkungan kehidupan yang mempunyai arti/fungsi sebagai : (1) media pemersatu bangsa, (2) media perhubungan (3) media penggalian sumberdaya alam dan (4) media pertahanan (Soebijanto, 2004: 51-52).
Kenyataan geografis Indonesia merupakan negara kepulauan, dimana antara pulau satu dengan pulau lainya dihubungkan oleh laut dan selat. Gambaran ini setidaknya menempatkan sektor kelautan menjadi sektor penting. Dari sudut ekonomi pentingnya laut dapat dilihat dari : (1) potensi sumberdaya alam yang terkandung di dalamnya dan (2) potensi pemanfaatan laut sebagai prasarana transportasi antar pulau (Hamid, 2004:28). Dari kedua potensi tersebut, potensi kedua yakni pemanfaatan laut sebagai prasarana transportasi menjadi potensi yang paling penting jika berbicara masalah pelayaran nasional. Karena angkutan laut sangat dominan dan memiliki nilai strategis yang mendasar dalam arti ekonomi bagi kehidupan bangsa dan negara Republik Indonesia (Sinaga, 1995:20).
Pentingnya trasportasi tercermin pada penyelenggaraannya yang mempengaruhi semua aspek kehidupan bangsa dan negara serta semakin meningkatnya kebutuhan jasa angkutan bagi mobilitas manusia dan barang dalam negeri serta dari dan ke luar negeri. Di samping itu, traspotarsi juga berperan sebagai penunjang, pendorong, dan penggerak bagi pertumbuhan daerah yang berpotensi namun belum berkembang, dalam upaya peningkatan dan pemerataan pembangunan serta hasil-hasilnya.
Kelancaran transportasi, dapat mendukung dan membantu pemantapan kawasan wilayah Indonesia dalam rangka perwujudan wawasan nusantara dan membantu pencapaian sasaran pembangunan nasional di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya dan pertahanan keamanan serta merangsang pembangunan daerah melalui pengembangan potensi ekonomi (Siregar, 1981:118).
Peranan transportasi dalam perekonomian Indonesia cukup signifikan. Sebagai contoh pada tahun 2002, lebih dari 99 persen kegiatan ekspor-impor sebesar 296 juta ton dan 95 persen dari ekspor-impor tersebut senilai US $ 88,4 miliar diangkut dengan mengunakan transportasi laut. Potensi pasar yang begitu besar bagi armada pelayaran nasional di angkutan ekspor-impor sebesar 296 juta ton dan juga angkutan dalam negeri sebanyak 143,4 juta ton, belum sepenuhnya dimanfaatkan oleh armada pelayaran nasional. (RPJMN, 2005:403). Melihat kondisi pelayaran nasional yang demikian, maka optimalisasi potensi laut sebagai prasarana transportasi/pelayaran menjadi sangat penting untuk dilakukan, yang setidaknya melibatkan kepaduan peran antara pemerintah sebagai pembuat keputusan (decision maker) dan perusahaan pelayaran nasional yang dipercaya melakukan berbagai aktivitas pelayaran di Indonesia.
Dalam rangka menjamin terlaksananya pelayaran nasional dan kemajuan pelayaran nasional, pemerintah sebagai pembuat keputusan telah mengeluarkan beberapa peraturan perundangan dalam berbagai bentuk, di antaranya adalah : PP 17/1988 tentang Penyelenggaraan dan Pengusahaan Angkutan Laut, yang kemudian diganti PP 82/1999 tentang Angkutan di Perairan, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran, Keputusan Menteri Perhubungan Nomor : KM. 33 Tahun 2001 tentang Penyelengaraan dan Pengusahaan Angkutan Laut, Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 5 Tahun 2005 tentang Pemberdayaan Industri Pelayaran Indonesia dengan menerapkan asas cabotage dan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor : KM. 71 Tahun 2005 pengangkutan barang/muatan antarpelabuhan laut di dalam negeri.
Asas cabotage merupakan sebuah asas yang mengandung makna bahwa muatan dalam negeri harus diangkut dengan menggunakan jasa angkutan dari kapal-kapal nasional milik perusahaan nasional (Hamid, 2004:31). Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk memberikan perlindungan dan usaha dalam negeri serta mengurangi ketergantungan pada pihak asing (Ibid, 2004:32). Namun terpuruknya peran armada pelayaran nasional dalam mengangkut muatan untuk angkutan dalam negeri, maka pemerintah memberi kelonggaran/mengijinkan kepada perusahaan angkutan laut nasional untuk menggunakan kapal asing dengan berbagai persyaratan, walaupun dalam undang-undang dan peraturan lainya secara eksplisit diberlakukan asas cabotage.
Dikeluarkan Inpres No.5 Tahun 2005 dan Permenhub No. KM 71 Tahun 2005 secara tegas dinyatakan bahwa muatan antar pelabuhan di dalam negeri harus diangkut dengan menggunakan kapal berbendera Indonesia yang dioperasikan oleh perusahaan angkutan laut nasional. Implementasi asas cabotage sesuai Inpres No 5 Tahun 2005 tersebut harus dilaksanakan dengan optimal untuk melindungi pelayaran dalam negeri dan perekonomian Indonesia.

UPAYA PENANGGULANGAN IMIGRAN GELAP DI LAUT SELATAN GUNA MENINGKATKAN EKSISTENSI TNI AL DI PROVINSI DIY




ABSTRAK

Pergolakan politik dan ekonomi global mengakibatkan negara-negara di kawasan timur tengah yang mengalami krisis multi dimensi, sehingga menyebabkan migrasi penduduk ke negara lain (Australia) dengan melalui jalan udara dan laut. Kondisi geografi laut selatan Provinsi DIY yang memiliki posisi strategis sebagai jalur pelayaran internasional dan berbatasan langsung dengan Australia memberikan peluang bagi para pelaku kejahatan di laut, termasuk aksi penyelundupan imigran gelap dari Timur tengah menuju Australia. Lemahnya pengawasan oleh aparat penegak hukum di laut khususnya Lanal Yogyakarta merupakan salah satu faktor timbulnya keinginan para pelaku kejahatan untuk melaksanakan aksinya. Di sisi lain, taraf hidup masyarakat nelayan yang tinggal di daerah pesisir sebagian besar hidup dibawah garis kemiskinan sehingga dengan mudah untuk dipengaruhi dengan melakukan kegiatan yang melanggar hukum tanpa mereka harus tahu akibat buruknya. Terjadinya pelanggaran hukum di perairan laut selatan DIY disebabkan oleh beberapa faktor antara lain : konstelasi geografi laut selatan DIY yang terbuka sebagai jalur pelayaran internasional, taraf kehidupan masyarakat pantai yang masih rendah, keterbatasan sarana dan prasarana patroli serta sistem penanggulang yang masih belum memadai sehingga hal ini sangat merugikan eksistensi TNI AL di provinsi DIY. Penanggulangan imigran gelap di perairan laut selatan DIY seharusnya ditangani secara bersinergi dengan melibatkan berbagai instansi terkait, melalui upaya pencegahan dini serta upaya penindakan secara terpadu. Upaya dan langkah strategis dalam menanggulangi imigran gelap di laut selatan harus direalisasikan dengan melaksanakan peningkatan sarana dan prasarana penanggulangan, peningkatan sumber daya manusia, penentuan pola operasi patroli, peningkatan kerjasama secara internal maupun eksternal yang didukung dengan sistem jaringan informasi (information network) yang handal dalam rangka meningkatkan eksistensi TNI AL di wilayah Provinsi DIY.


BAB I
PENDAHULUAN

1. U m u m .
Pergolakan politik dan ekonomi global banyak mempengaruhi negara-negara didunia, demikian juga dengan negara-negara di kawasan timur tengah. Akibat dari hal tersebut maka rakyat di timur tengah mengalami kesulitan ekonomi dan terjadi krisis multidimensi yang tak kunjung berhenti sehingga menyebabkan sebagain penduduk di timur tengah mengadakan migrasi ke Negara lain untuk mencari penghidupan yang dianggap lebih layak dan mencari suaka politik. Negara yang menjadi tujuan mereka adalah Negara Australia. Perjalanan migrasi menuju Australia biasanya transit di negara-nagara tertentu yang dianggap aman untuk sampai di Negara tujuan. Negara Indonesia merupakan salah satu Negara yang dipilih menjadi tempat transit. Imigran yang masuk di Indonesia biasanya melalui pintu masuk udara ataupun melalui laut.
Kondisi perairan selatan Pulau Jawa khususnya Daerah Istimewa Yogyakarta tergambar melalui perairan yang merupakan daerah hukum Lanal Yogyakarta dan Lantamal V Surabaya. Perairan tersebut merupakan jalur lintasan bagi kapal-kapal asing yang menuju Australia atau sebaliknya melalui ALKI I atau perairan barat Sumatera. Dalam konsep tata ruang kawasan pertahanan laut TNI AL, perairan tersebut merupakan wilayah Daerah Operasi IV yang meliputi Samudera Hindia, perairan bagian utara Sumatera, perairan pantai barat Sumatera, dan perairan Selatan Jawa dengan ciri khas adanya kecenderungan peningkatan pelanggaran di laut. Beberapa kejadian yang ada di wilayah perairan Daerah Istimewa Yogyakarta adalah masuknya imigran asal timur tengah hingga ke daratan. Dengan demikian sudah menjadi tugas dan kewajiban Lanal Yogyakarta sebagai penegak hukum di laut wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta khususnya untuk melakukan pencegahan dan tindakan terhadap perbuatan yang melanggar hukum bagi kapal yang mengangkut imigran dan melakukan pelayaran di sepanjang perairan tersebut guna menjamin keamanan dan ketertiban hukum di laut selatan Daerah Istimewa Yogyakarta. Namun demikian ketika diwilayah hukum tersebut tidak ada sarana dan prasarana pendukung operasi keamanan laut dan kondisi alam yang spesifik dengan keterbatasan alut patroli yang dimiliki oleh penegak hukum maka akan menimbulkan dampak tidak efektifnya penegakan hukum diwilayah tersebut.
Peranan dan keberadaan Lanal Yogyakarta dalam hal ini di pertanyakan karena sebagai aparat penegak hukum dan kedaulatan di laut yang seharusnya mampu mencegah terjadinya pelanggaran di laut tidak mampu melaksanakan tugasnya secara optimal. Dengan segala keterbatasan yang dimiliki, Lanal Yogyakarta harus mengambil langkah strategis dalam menangani permasalahan ini. Lanal Yogyakarta sebagai penanggungjawab keamanan wilayah laut tersebut diharapkan dengan berbagai upaya yang telah, sedang dan akan dilaksanakan secara terus menerus dapat menanggulangi masalah imigran gelap di laut selatan DIY, sehingga mampu menunjukkan eksistensinya di Provinsi DIY.






KONSEPSI PENGAMANAN WILAYAH PERBATASAN LAUT RI-RDTL



KONSEPSI PENGAMANAN WILAYAH PERBATASAN LAUT RI-RDTL GUNA MENEGAKKAN HUKUM DAN KEDAULATAN NEGARA DALAM RANGKA MENJAGA KEUTUHAN WILAYAH NKRI


BAB I
PENDAHULUAN


1. Umum.
Referendum rakyat Timor Timur yang di fasilitasi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada bulan Agustus 1999 telah mengantar bekas Provinsi ke 27 Republik Indonesia menjadi sebuah negara yang merdeka pada tanggal 20 Mei 2002. Berdirinya Republik Demokratik Timor Leste (RDTL) telah memenuhi persyaratan konstitutif dan deklaratif, secara hukum dan politik terpisah dari negara Republik Indonesia. Implikasi terlepasnya Provinsi Timor Timur dari Republik Indonesia sesuai hasil referendum pada tahun 1999, maka muncul permasalahan baru bagi negara RI-RDTL, yakni permasalahan tentang delimitasi batas wilayah negara, baik wilayah darat maupun wilayah laut.
Pengamanan laut di wilayah perbatasan merupakan upaya perlindungan terhadap eksistensi negara yang ditandai dengan terlindunginya kedaulatan, penduduk dan wilayah dari pelbagai jenis ancaman. Konsepsi ini adalah bagian dari satu pemahaman totalitas mengenai konsep ‘keamanan nasional’ yang intinya adalah “kemampuan negara melindungi apa yang ditetapkan sebagai nilai-nilai inti (core values), dimana pencapaiannya merupakan sebuah proses terus-menerus (sustainable), dengan menggunakan segala elemen power dan resources yang ada serta melingkupi semua aspek kehidupan"
Secara faktual, keamanan di laut memiliki dua dimensi, yaitu dimensi penegakan kedaulatan dan dimensi penegakan hukum, sehingga diperlukan suatu pemahaman bagi segenap komponen bangsa, struktur organisasi serta prosedur dan mekanisme penyelenggaraaan keamanan di laut yang melibatkan berbagai instansi yang memiliki kewenangan dalam penegakan kedaulatan dan penegakan hukum dilaut dan sistem keamanan laut harus dibangun dengan prinsip mensinergikan kekuatan yang dimiliki oleh berbagai instansi penyelenggara pengamanan di laut. Sinergi kedua aspek tersebut dapat dilihat dari kesatuan yang tercermin dalam struktur organisasi, mekanisme, dan prosedur aparat penyelenggara keamanan di laut, karena penegakan kedaulatan di laut juga mempunyai dua dimensi pemahaman, yakni dimensi pemahaman kedaulatan (sovereignity) dan hak berdaulat (sovereign right) di laut suatu negara yang telah diatur secara universal dalam UNCLOS 1982.
Pengamanan wilayah perbatasan laut antara RI-RDTL secara khusus saat ini belum ada suatu operasi baru, namun operasi pengamanan yang ada di wilayah perairan dan perbatasan RI-RDTL dibackup oleh bebarapa operasi. Gelar pangkalan di pulau-pulau terluar (Pos Pengamat TNI AL) diwilayah perbatasan RI-RDTL secara administratif dibawah Lantamal VII, memiliki kondisi yang masih sangat memprihatinkan baik sarana prasarana yang dimiliki, akomodasi maupun pengawak posal-posal masih belum terpenuhi serta tidak memiliki kemampuan maksimal untuk melaksanakan pengamatan, pengawasan maupun untuk melaksanakan patroli, sementara tuntutan tugas yang diemban oleh para penegak hukum di laut harus mampu menegakkan kedaulatan dan hukum di perbatasan .
Berbagai upaya pengamanan perbatasan laut RI-RDTL yang telah dilaksanakan untuk menegakan kedaulatan dan hukum, masih belum memiliki hasil yang cukup signifikan, karena itu sangat mendesak untuk dibentuk suatu operasi pengamanan perbatasan laut RI-RDTL. Pembentukan satuan tugas operasi ini perlu dirumuskan dan disusun dalam suatu konsepsi pengamanan wilayah perbatasan laut RI-RDTL guna menegakkan hukum dan kedaulatan negara dalam rangka menjaga keutuhan wilayah NKRI.




Rabu, 06 Juni 2012

AL MA,TSURAT SUGHRA (Dzikir dan Doa Rasulullah Pagi dan Petang)


AL MA,TSURAT SUGHRA
Dzikir dan Doa Rasulullah Pagi dan Petang

(Syekh Hasan Al Bana)

1. A’udzubillahissami’il aliimi minasyaithonirrojiim (Ta’awudz)

2. Bismillahirrohman nirrokhiim (Basmalah)

3. Alhamdulillahirobbil ’alamin(1), Arrohman nirrohim(2), Maliki yaumiddin(3), Iyyakana’ budu waiya kanastangin(4), Ihdinas siroothol mustaqiim(5), Siroothol ladzina an’amta ’alaihim ghoiril maghdubi ’alaihim waladdoolliin(6) (QS. Al Fatikhah)

4. Bismillahirrohman nirrokhiim (Basmalah)

5. Alif Lam Mim(1), Dzalikal kitabulla roibafihi hudallilmutaqiin(2), Alladziina yu’minuuna bil ghoibi wa yuqimuunasholata wamimma rojaqnahum yunfiquun(3), walladziina yu’minuuna bimaa unjila ilaika wamaa unjila min qoblika wabil akhirotihum yuuqinuun(4), Ulaaika ’alaa hudammirrobbihim-wa ulaaika humul muflikhuun(5). (QS. Al Baqarah 1-5)

6. Allohu laa ilaaha illahuwal khayyul qoyuum-lata’khuduhu sinatuwwala nauum-lahumaa fissamaawati wamaa fil ardhi-mangdzalladzii yasfa’u ’indahu illa bi idnihi-ya’lamu mabaina aidhihim wamaakholfahum walayukhithuuna bisaiin min ‘ilmihi illa bimaasaa-wasi’a kursiyyuhussamaawati wal ardho-wala ya,udhuhu khifthuhumaa wahuwall ’aliyyul ’adhiim. ( QS. Al Baqarah 255-Ayat Kursyi)

7. Laa ikrooha fiddiini qod ttabayyanar rusdu minal ghoyyi-faman yakfur bitthoghuuti wa yu’min billaah fa qodistamsaka bil ‘urwatilwusqoo laa,anfishoma laha-wallohu samiul ‘aliim. ( QS. Al Baqarah 256)

8. Allohu waliyyulladziina aamanuu yuhrijuhum minaddhulumati ilannuur-walladziina kafaruu auliya uhumuthoghuutu yuhrijunahum minannuuri iladhulumaati-ulaaika ashabunnarihum fiihaa kholidhuun. (QS. Al Baqarah 257)

9. Lillahi mafissmaawati wamaa fil ardhi-waa in tubduu maafii anfusikum autuhfuuhu yukhasibkum bihillahu-fayaghfiru liman yasaa,u wayu ‘addibu man yasaa,u- wallohu ‘allaa kulli sai’in qodiir. (QS. Al Baqarah 284)

10. Amanarrosuulu bimaa unjila ilaihi mirrobbihi wal mu’minuun-kullun amana billahi wa malaaikatihi-wa kutubihi-wa rusulihi-lanufarriku baina akhadim mirrusulihi- waqooluu sami’naa wa atho’naa ghufronaka robbanaa wa ilaikal mashiir. (QS. Al Baqarah 285)

11. Laa yukallifullohu nafsan illa wus‘ahaa lahaa maakasabat wa ‘alaiha maaktasabat-robbanaa latu aakhidnaa innasiinaa au akhtho’na-robbanaa wala takhmil ‘alainaa israan kama khamaltahu ‘alaaladziina min qoblinaa-robbanaa wala tukhamilnaa maala thoqotalanaa bihi-wa’fu’anna waghfirlanaa war khamna anta maulanaa fansurnaa ‘alall qaumill kaafiriina. (QS. Al Baqarah 286)

12. Bismillahirrohman nirrokhiim (Basmalah)

13. Qul huwallohu ahad(1), Allohusshomad(2), Lam yalid walam yuulad(3), Walam yaqullahu kufuwan ahad(4). (QS. Al Ikhlash) 3x

14. Bismillahirrohman nirrokhiim (Basmalah)

15. Qul a’uudzubirobbil falaq(1), Minsarri ma kholaq(2), Waminsarri ghosiqin idza waqob(3), Waminsarrin naffatsati fil ‘uqod(4), Waminsarri khaasidin idza khasad(5). (QS. Al Falaq) 3x

16. Bismillahirrohman nirrokhiim (Basmalah)

17. Qul a’uudzubirobbinnaas(1), Malikinnaas(2), Ilaahinnaas(3), Minsarril waswaasil khonnaas(4), Alladzi yuwaswisu fi shuduurinnaas(5), Minal Jinnati wannaas(6). (QS. An Naas) 3x

18. (Asbahna wa asbaha/Amsaina wa amsa) mulku lillahi walhamdulillahi la syarikallahu la illaha illa huwa wa-ilaihi (nusuur/masiir)3x

19. (Asbahna/Amsaina) ’ala fitrotil islam-wa kalimatil ikhlas-wa’ala diini nabiyyina muhammaddin shollalloohu ’alaihi wasallam-wa’ala millatin abiina ibroohiima khanifan wamaa kana minal musyrikiin 3x

20. Allohumma inni (asbahtu/amsaitu) minka fi ni’matin wa’afiyatin wa sittrin-fa atimma ’alayya ni’mataka wa’afiyataka wa sit-roka fiddun-ya wal aakhirot 3x

21. Allohumma maa (asbaha/amsa) biimini’matin ao bi akhadin min kholqika fa minka wahdaka la syariika laka falakalhamdu walakassyukru. 3x

22. Yaa Robbii lakal khamdu kamaa yan baghii lijalali wajhika wa’adhiimi sulthonik. 3x

23. Rodhiitu billahi robban wa bil islamidiinan wa bi muhammadin nabiiyyan wa rosuulan. 3x

24. Subkhanalloohi wa bikhamdihi, ‘adada kholqihi wa ridhoo nafsihi, wa jinata’arsyihi wa midadaa kalimatihi. 3x

25. Bismillaahilladzii layadhurru ma’ashmihi syai,un fil ardhi wala fissamaa,i wa huwassami’ul ’aliim. 3x

26. Alloohumma inna na’udzubika min annusrika bika syai,an na’lamuhu wa nashtaghfiruka limaa la na’lamuhu. 3x

27. A’udzubikal-limaatil-laahit tammati min sarri ma kholaqo. 3x

28. Alloohumma innii a’udzubika minall hammi wal khajani, wa a’udzubika minnal’aj,ji wal kasali, wa a’udzubika minnal jubni wal buhkli, wa a’udzubika min gholabatid daini wa qohrirrijali. 3x

29. Alloohumma ’afinii fi badanii, alloohumma ’afinii fi sam’i, Alloohumma ’afinii fi basharii. 3x

30. Alloohumma innii a’udzubika minal kufri wal fakri, Alloohumma innii a’udzubika min’adzabil qobri, la ilaaha illa anta. 3x

31. Alloohumma anta robbii la ilaaha illa anta, kholaqtanii wa ana’abduka, wa ana ’alaa ’ahdika, wa wa’dika mastatho’tu, a’udzubika min sarri maa shona’tu, a buu,u laka bini’matika ’alayya wa abuu,u bidan bii faghfirlii fa innahu layaghfiru dzunuba illa anta. 3x

32. Astaghfirullohal ladzii la ilaaha illa huwal khayyul qoyuum wa atubu ilaihi. 3x

33. Alloohumma shalli ’ala Muhammadin, wa’ala ali Muhammadin, kama shollaita ’ala ibrohiim wa’ala alii ibrohiim, wa barik ’ala Muhammadin wa’ala alii Muhammadin, kama barokta ’ala ibrohiim wa’ala alii ibrohiim , fil’alamiina innaka khamiddum majiid. 10x

34. Shubkhanalloohi wal khamdu lillaahi wala illaaha illalloohu walloohu akbar. 100x

35. La ilaaha illalloohu wahdahula syarikalahu, lahulmuku walahul khamdu wahuwa ’ala kulli syai,in qodiir. 10x

36. Subkhanakalloohumma wabikhamdika ashadu alla ilaaha illa anta astaghfiruka wa atuubu ilaika. 3x

37. Alloohumma sholli ’alaa sayyidinaa Muhammadin ’abdika wanabiyyika wa rosuulika nabiyyil ummiyyii wa’ala alihii wa shohbihi wasallim tasliiman ’adada maa akhatho bihi ’ilmuka, wa khotto’bihi qolamuka, wa ah-shohu kitabuka, wardho llohumma ’an sadatinaa abii bakrin, wa ’umaro, wa ’usman, wa’alii, wa’anishokhabati ajma’iin, wa’anit tabi’ina wa tabi’iihim bi ihsanin illa yaumiddiin.

38. Shubkhaanaka robbika robbil’izati ’amma yasifuun, wa salamun’alal mursalin wal khamdu lillaahi robbil’alamiin.

39. Qulillahumma malikal mulki tu’tilmulka man tasaa’u watanzi’ul mulka mimmantasaa’u watu ’ijzu mantasaa’u wa tudzillu mantasaa’u biyadikal khoiru-innaka ’ala kulli syai,in qodiir. (QS. Ali Imran 26)

40. Tuulijullaila finnahaari wa tuulijunahaara fillaili watukhrijulkhayya minal mayyiti wa tukhrijul mayyita minalkhayyi watarjzuku mantasaa’u bighoiri khisaab. (QS. Ali Imran 27)

41. Alloohumma inna haadzaa (idzbaaru lailika wa iqbalu nahaarika/iqbalu lailika wa idzbaaru naharika) wa ashwatu dzua’atika faghfirlii.

42. Alloohumma innaka ta’lamu anna haadihil quluuba qodijtama’at ‘alaa makhabbatika wal taqot ‘alaa tho’atika wa tawakhadat ‘alaa da’watika wa ta’ahadat ‘alaa nusroti sari’atika fawatsiqilloohumma roobithotahaa wa ‘adhim wuddahaa wahdihaa subulahaa wamla’haa binuurikalladzii layakhbuu wasrakh shuduurahaa bifaidil iimaanibika wa jamiilittawakulli ‘alaika wa akhyihaa bima’rifatika wa amit-haa ‘alasshahaadati fi sabiilika innaka ni’mal maula wa ni’mannashiir.

43. Alloohumma aamiin wa sholillahumma ‘alaa sayyidinaa muhammadin wa ‘alaa aalihi wa shohbihi wasalam.

Di kutip oleh : Kh. Ahmad H Al Bangsari

SEMAR DALAM BAHASA JAWA


Semar dalam bahasa Jawa (filosofi Jawa) disebut Badranaya Bebadra = Membangun sarana dari dasar Naya = Nayaka = Utusan mangrasul Artinya : Mengembani sifat membangun dan melaksanakan perintah Allah demi kesejahteraan manusia Filosofi, Biologis Semar Javanologi : Semar = Haseming samar-samar (Fenomena harafiah makna kehidupan Sang Penuntun). Semar tidak lelaki dan bukan perempuan, tangan kanannya keatas dan tangan kirinya kebelakang. Maknanya : “Sebagai pribadi tokoh semar hendak mengatakan simbul Sang Maha Tumggal”. Sedang tangan kirinya bermakna “berserah total dan mutlak serta selakigus simbul keilmuaan yang netral namun simpatik”. Domisili semar adalah sebagai lurah karangdempel / (karang = gersang)dempel = keteguhan jiwa. Rambut semar “kuncung” (jarwadasa/pribahasa jawa kuno) maknanya hendak mengatakan : akuning sang kuncung = sebagai kepribadian pelayan. Semar sebagai pelayan mengejawantah melayani umat, tanpa pamrih, untuk melaksanakan ibadah amaliah sesuai dengan sabda Ilahi. Semar barjalan menghadap keatas maknanya : “dalam perjalanan anak manusia perwujudannya ia memberikan teladan agar selalu memandang keatas (sang Khaliq ) yang maha pengasih serta penyayang umat”. Kain semar Parangkusumorojo: perwujudan Dewonggowantah (untuk menuntun manusia) agar memayuhayuning bawono : mengadakan keadilan dan kebenaran di bumi. Ciri sosok semar adalah : Semar berkuncung seperti kanak kanak,namun juga berwajah sangat tua Semar tertawannya selalu diakhiri nada tangisan Semar berwajah mata menangis namun mulutnya tertawa Semar berprofil berdiri sekaligus jongkok Semar tak pernah menyuruh namun memberikan konsekwensi atas nasehatnya Kebudayaan Jawa telah melahirkan religi dalam wujud kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa, yaitu adanya wujud tokoh wayang Semar, jauh sebelum masuknya kebudayaan Hindu, Budha dan Isalam di tanah Jawa. Dikalangan spiritual Jawa ,Tokoh wayang Semar ternyata dipandang bukan sebagai fakta historis, tetapi lebih bersifat mitologi dan symbolis tentang KeEsa-an, yaitu: Suatu lambang dari pengejawantahan expresi, persepsi dan pengertian tentang Illahi yang menunjukkan pada konsepsi spiritual . Pengertian ini tidak lain hanyalah suatu bukti yang kuat bahwa orang Jawa sejak jaman prasejarah adalah Relegius dan ber keTuhan-an yang Maha Esa. Dari tokoh Semar wayang ini akan dapat dikupas ,dimengerti dan dihayati sampai dimana wujud religi yang telah dilahirkan oleh kebudayaan Jawa . Gambar tokoh Semar nampaknya merupakan simbol pengertian atau konsepsi dari aspek sifat Ilahi, yang kalau dibaca bunyinya katanya ber bunyi : Semar (pralambang ngelmu gaib) – kasampurnaning pati. Bojo sira arsa mardi kamardikan, ajwa samar sumingkiring dur-kamurkan Mardikaartinya “merdekanya jiwa dan sukma“, maksudnya dalam keadaan tidak dijajah oleh hawa nafsu dan keduniawian, agar dalam menuju kematian sempurna tak ternodai oleh dosa. Manusia jawa yang sejati dalam membersihkan jiwa (ora kebanda ing kadonyan, ora samar marang bisane sirna durka murkamu) artinya : “dalam menguji budi pekerti secara sungguh-sungguh akan dapat mengendalikan dan mengarahkan hawa nafsu menjadi suatu kekuatan menuju kesempurnaan hidup”. Filsafat Ha-Na-Ca-Ra-Ka dalam lakon Semar Mbabar Jati Diri Dalam Etika Jawa ( Sesuno, 1988 : 188 ) disebutkan bahwa Semar dalam pewayangan adalah punakawan ” Abdi ” Pamomong ” yang paling dicintai. Apabila muncul di depan layar, ia disambut oleh gelombang simpati para penonton. Seakan-akan para penonton merasa berada dibawah pengayomannya. Simpati para penonton itu ada hubungannya dengan mitologi Jawa atau Nusantara yang menganggap bahwa Semar merupakan tokoh yang berasal dari Jawa atau Nusantara ( Hazeu dalam Mulyono 1978 : 25 ). Ia merupakan dewa asli Jawa yang paling berkuasa ( Brandon dalam Suseno, 1988 : 188 ). Meskipun berpenampilan sederhana, sebagai rakyat biasa, bahkan sebagai abdi, Semar adalah seorang dewa yang mengatasi semua dewa. Ia adalah dewa yang ngejawantah ” menjelma ” ( menjadi manusia ) yang kemudian menjadi pamong para Pandawa dan ksatria utama lainnya yang tidak terkalahkan. Oleh karena para Pandawa merupakan nenek moyang raja-raja Jawa ( Poedjowijatno, 1975 : 49 ) Semar diyakini sebagai pamong dan danyang pulau Jawa dan seluruh dunia ( Geertz 1969 : 264 ). Ia merupakan pribadi yang bernilai paling bijaksana berkat sikap bathinnya dan bukan karena sikap lahir dan keterdidikannya ( Suseno 1988 : 190 ). Ia merupakan pamong yang sepi ing pamrih, rame ing ngawe ” sepi akan maksud, rajin dalam bekerja dan memayu hayuning bawana ” menjaga kedamaian dunia ( Mulyono, 1978 : 119 dan Suseno 1988 : 193 ) Dari segi etimologi, joinboll ( dalam Mulyono 1978 : 28 ) berpendapat bahwa Semar berasal dari sar yang berarti sinar ” cahaya “. jadi Semar berarti suatu yang memancarkan cahaya atau dewa cahaya, sehingga ia disebut juga Nurcahya atau Nurrasa ( Mulyono 1978 : 18 ) yang didalam dirinya terdapat atau bersemayam Nur Muhammad, Nur Illahi atau sifat Ilahiah. Semar yang memiliki rupa dan bentuk yang samar, tetapi mempunyai segala kelebihan yang telah disebutkan itu, merupakan simbol yang bersifat Ilahiah pula ( Mulyono 1978 : 118 – Suseno 1988 : 191 ). Sehubungan dengan itu, Prodjosoebroto ( 1969 : 31 ) berpendapat dan menggambarkan ( dalam bentuk kaligrafi ) bahwa jasat Semar penuh dengan kalimat Allah. Sifat ilahiah itu ditunjukkan pula dengan sebutan badranaya yang berarti ” pimpinan rahmani ” yakni pimpinan yang penuh dengan belas kasih ( timoer, tt : 13 ). Semar juga dapat dijadikan simbol rasa eling ” rasa ingat ” ( timoer 1994 : 4 ), yakni ingat kepada Yang Maha Pencipta dan segala ciptaanNYA yang berupa alam semesta. Oleh karena itu sifat ilahiah itu pula, Semar dijadikan simbol aliran kebatinan Sapta Darma ( Mulyono 1978 : 35 ) Berkenaan dengan mitologi yang merekfleksikan segala kelebihan dan sifat ilahiah pada pribadi Semar, maka timbul gagasan agar dalam pementasan wayang disuguhkan lakon ” Semar Mbabar Jati Diri “. gagasan itu muncul dari presiden Suharto dihadapan para dalang yang sedang mengikuti Rapat Paripurna Pepadi di Jakarta pada tanggal, 20-23 Januari 1995. Tujuanya agar para dalang ikut berperan serta menyukseskan program pemerintah dalam pembangunan manusia seutuhnya, termasuk pembudayaan P4 ( Cermomanggolo 1995 : 5 ). Gagasan itu disambut para dalang dengan menggelar lakon tersebut. Para dalang yang pernah mementaskan lakon itu antara lain : Gitopurbacarita, Panut Darmaka, Anom Suroto, Subana, Cermomanggolo dan manteb Soedarsono ( Cermomanggolo 1995 : 5 – Arum 1995 : 10 ). Dikemukan oleh Arum ( 1995:10 ) bahwa dalam pementasan wayang kulit dengan lakon ” Semar Mbabar Jadi Diri ” diharapkan agar khalayak mampu memahami dan menghayati kawruh sangkan paraning dumadi ” ilmu asal dan tujuan hidup, yang digali dari falsafat aksara Jawa Ha-Na-Ca-Ra-Ka. Pemahaman dan penghayatan kawruh sangkan paraning dumadi yang bersumber filsafat aksara Jawa itu sejalan dengan pemikiran Soenarto Timoer ( 1994:4 ) bahwa filsafat Ha-Na-Ca-Ra-Ka mengandung makna sebagai sumber daya yang dapat memberikan tuntunan dan menjadi panutan ke arah keselamatan hidup. Sumber daya itu dapat disimbolkan dengan Semar yang berpengawak sastra dentawyanjana. Bahkan jika mengacu pendapat Warsito ( dalam Ciptoprawiro 1991:46 ) bahwa aksara Jawa itu diciptakan Semar, maka tepatlah apabila pemahaman dan penghayatan kawruh sangkan paraning dumadi tersebut bersumberkan filsafat Ha-Na-Ca-Ra-Ka Mari kita mengutip satu tembang Jawa Tak uwisi gunem iki saya akhiri pembicaraan ini Niyatku mung aweh wikan saya hanya ingin memberi tahu Kabatinan akeh lire kabatinan banyak macamnya Lan gawat ka liwat-liwat dan artinya sangat gawat Mulo dipun prayitno maka itu berhati-hatilah Ojo keliru pamilihmu Jangan kamu salah pilih Lamun mardi kebatinan kalau belajar kebatinan Tembang ini menggambarkan nasihat seorang tua (pinisepuh) kepada mereka yang ingin mempelajari kabatinan cara kejawen. Kiranya perlu dipahami bahwa tujuan hakiki dari kejawen adalah berusaha mendapatkan ilmu sejati untuk mencapai hidup sejati, dan berada dalam keadaan harmonis hubungan antara kawula (manusia) dan Gusti (Pencipta) ( jumbuhing kawula Gusti ) /pendekatan kepada Yang Maha Kuasa secara total. Keadaan spiritual ini bisa dicapai oleh setiap orang yang percaya kepada Tuhan, yang mempunyai moral yang baik, bersih dan jujur. beberapa laku harus dipraktekkan dengan kesadaran dan ketetapan hati yang mantap. Pencari dan penghayat ilmu sejati diwajibkan untuk melakukan sesuatu yang berguna bagi semua orang serta melalui kebersihan hati dan tindakannya. Cipta, rasa, karsa dan karya harus baik, benar, suci dan ditujukan untuk mamayu hayuning bawono.Ati suci jumbuhing Kawulo Gusti : hati suci itu adalah hubungan yang serasi antara Kawulo dan Gusti, kejawen merupakan aset dari orang Jawa tradisional yang berusaha memahami dan mencari makna dan hakekat hidup yang mengandung nilai-nilai. Dalam budaya jawa dikenal adanya simbolisme, yaitu suatu faham yang menggunakan lambang atau simbol untuk membimbing pemikiran manusia kearah pemahaman terhadap suatu hal secara lebih dalam. Manusia mempergunakan simbol sebagai media penghantar komunikasi antar sesama dan segala sesuatu yang dilakukan manusia merupakan perlambang dari tindakan atau bahkan karakter dari manusia itu selanjutnya. Ilmu pengetahuan adalah simbol-simbol dari Tuhan, yang diturunkan kepada manusia, dan oleh manusia simbol-simbol itu ditelaah dibuktikan dan kemudian diubah menjadi simbol-simbol yang lebih mudah difahami agar bisa diterima oleh manusia lain yang memiliki daya tangkap yang berberda-beda. Biasanya sebutan orang Jawa adalah orang yang hidup di wilayah sebelah timur sungai Citanduy dan Cilosari. Bukan berarti wilayah di sebelah barat-nya bukan wilayah pulau Jawa. Masyarakat Jawa adalah masyarakat yang menjunjung tinggi rasa kekeluargaan dan suka bergotong royong dengan semboyannya“saiyeg saekoproyo “ yang berarti sekata satu tujuan. Kisah suku Jawa diawali dengan kedatangan seorang satriya pinandita yang bernama Aji Saka, sampai kemudian satriya itu menulis sebuah sajak yang kemudian sajak tersebut diakui menjadi huruf jawa dan digunakan sebagai tanda dimulainya penanggalan tarikh Caka. Kejawen adalah faham orang jawa atau aliran kepercayaan yang muncul dari masuknya berbagai macam agama ke jawa. Kejawen mengakui adanya Tuhan Gusti Allah tetapi juga mengakui mistik yang berkembang dari ajaran tasawuf agama-agama yang ada. Tindakan tersebut dibagi tiga bagian yaitu tindakan simbolis dalam religi, tindakan simbolis dalam tradisi dan tindakan simbolis dalam seni. Tindakan simbolis dalam religi, adalah contoh kebiasaan orang Jawa yang percaya bahwa Tuhan adalah zat yang tidak mampu dijangkau oleh pikiran manusia, karenanya harus di simbolkan agar dapat di akui keberadaannya misalnya dengan menyebut Tuhan dengan Gusti Ingkang Murbheng Dumadi, Gusti Ingkang Maha Kuaos, dan sebagainya. Tindakan simbolis dalam tradisi dimisalkan dengan adanya tradisi upacara kematian yaitu medo’akan orang yang meninggal pada tiga hari, tujuh hari, empatpuluh hari, seratus hari, satu tahun, dua tahun, tiga tahun, dan seribu harinya setelah seseorang meninggal (tahlillan). Dan tindakan simbolis dalam seni dicontohkan dengan berbagai macam warna yang terlukis pada wajah wayang kulit; warna ini menggambarkan karakter dari masing-masing tokoh dalam wayang. Perkembangan budaya jawa yang mulai tergilas oleh perkembangan teknologi yang mempengaruhi pola pikir dan tindakan orang jawa dalam kehidupan. Maka orang mulai berfikir bagaimana bisa membuktikan hal gaib secara empiris tersebut dengan menggunakan berbagai macam metode tanpa mengindahkan unsur kesakralan. Bahkan terkadang kepercayaan itu kehilangan unsur kesakralannya karena dijadikan sebagai obyek exploitasi dan penelitian. Kebiasaan orang Jawa yang percaya bahwa segala sesuatu adalah simbol dari hakikat kehidupan, seperti syarat sebuah rumah harus memiliki empat buah soko guru (tiang penyangga) yang melambangkan empat unsur alam yaitu tanah, air, api, dan udara, yang ke empatnya dipercaya akan memperkuat rumah baik secara fisik dan mental penghuni rumah tersebut. Namun dengan adanya teknologi konstruksi yang semakin maju, keberadaan soko guru itu tidak lagi menjadi syarat pembangunan rumah. Dengan analisa tersebut dapat diperkirakan bagaimana nantinya faham simbolisme akan bergeser dari budaya jawa. Tapi bahwa simbolisme tidak akan terpengaruh oleh kehidupan manusia tapi kehidupan manusialah yang tergantung pada simbolisme. Dan sampai kapanpun simbolisme akan terus berkembang mengikuti berputarnya sangkakala. Mangkunegara IV (Sembah dan Budiluhur) Mangkunegara IV memiliki empat ajaran utama yang meliputi sembah raga, sembah cipta (kalbu), sembah jiwa, dan sembah rasa. Sembah Raga Sembah raga ialah menyembah Tuhan dengan mengutamakan gerak laku badaniah atau amal perbuatan yang bersifat lahiriah. Cara bersucinya sama dengan sembahyang biasa, yaitu dengan mempergunakan air (wudhu). Sembah yang demikian biasa dikerjakan lima kali sehari semalam dengan mengindahkan pedoman secara tepat, tekun dan terus menerus, seperti bait berikut: Sembah raga puniku / pakartining wong amagang laku / sesucine asarana saking warih / kang wus lumrah limang wektu / wantu wataking wawaton Sembah raga, sebagai bagian pertama dari empat sembah yang merupakan perjalanan hidup yang panjang ditamsilkan sebagai orang yang magang laku (calon pelaku atau penempuh perjalanan hidup kerohanian), orang menjalani tahap awal kehidupan bertapa (sembah raga puniku, pakartining wong amagang laku). Sembah ini didahului dengan bersuci yang menggunakan air (sesucine asarana saking warih). Yang berlaku umum sembah raga ditunaikan sehari semalam lima kali. Atau dengan kata lain bahwa untuk menunaikan sembah ini telah ditetapkan waktu-waktunya lima kali dalam sehari semalam (kang wus lumrah limang wektu). Sembah lima waktu merupakan shalat fardlu yang wajib ditunaikan (setiap muslim) dengan memenuhi segala syarat dan rukunnya (wantu wataking wawaton). Sembah raga yang demikian ini wajib ditunaikan terus-menerus tiada henti (wantu) seumur hidup. Dengan keharusan memenuhi segala ketentuan syarat dan rukun yang wajib dipedomani (wataking wawaton). Watak suatu waton (pedoman) harus dipedomani. Tanpa mempedomani syarat dan rukun, maka sembah itu tidak sah. Sembah raga tersebut, meskipun lebih menekankan gerak laku badaniah, namun bukan berarti mengabaikan aspek rohaniah, sebab orang yang magang laku selain ia menghadirkan seperangkat fisiknya, ia juga menghadirkan seperangkat aspek spiritualnya sehingga ia meningkat ke tahap kerohanian yang lebih tinggi. Sembah Cipta ( Kalbu ) Sembah ini kadang-kadang disebut sembah cipta dan kadang-kadang disebut sembah kalbu, seperti terungkap pada Pupuh Gambuh bait 1 dan Pupuh Gambuh bait 11 berikut : Samengkon sembah kalbu / yen lumintu uga dadi laku / laku agung kang kagungan narapati / patitis teteking kawruh / meruhi marang kang momong. Apabila cipta mengandung arti gagasan, angan-angan, harapan atau keinginan yang tersimpan di dalam hati, kalbu berarti hati , maka sembah cipta di sini mengandung arti sembah kalbu atau sembah hati, bukan sembah gagasan atau angan-angan. Apabila sembah raga menekankan penggunaan air untuk membasuh segala kotoran dan najis lahiriah, maka sembah kalbu menekankan pengekangan hawa nafsu yang dapat mengakibatkan terjadinya berbagai pelanggaran dan dosa (sucine tanpa banyu, amung nyunyuda hardaning kalbu). Thaharah (bersuci) itu, demikian kata Al-Ghazali, ada empat tingkat. Pertama, membersihkan hadats dan najis yang bersifat lahiriah. Kedua, membersihkan anggota badan dari berbagai pelanggaran dan dosa. Ketiga, membersihkan hati dari akhlak yang tercela dan budi pekerti yang hina. Keempat, membersihkan hati nurani dari apa yang selain Allah. Dan yang keempat inilah taharah pada Nabi dan Shiddiqin. Jika thaharah yang pertama dan kedua menurut Al-Ghazali masih menekankan bentuk lahiriah berupa hadats dan najis yang melekat di badan yang berupa pelanggaran dan dosa yang dilakukan oleh anggota tubuh. Cara membersihkannya dibasuh dengan air. Sedangkan kotoran yang kedua dibersihkan dan dibasuh tanpa air yaitu dengan menahan dan menjauhkan diri dari pelanggaran dan dosa. Thaharah yang ketiga dan keempat juga tanpa menggunakan air. Tetapi dengan membersihkan hati dari budi jahat dan mengosongkan hati dari apa saja yang selain Allah. Sembah Jiwa Sembah jiwa adalah sembah kepada Hyang Sukma ( Allah ) dengan mengutamakan peran jiwa. Jika sembah cipta (kalbu) mengutamakan peran kalbu, maka sembah jiwa lebih halus dan mendalam dengan menggunakan jiwa atau al-ruh. Sembah ini hendaknya diresapi secara menyeluruh tanpa henti setiap hari dan dilaksanakan dengan tekun secara terus-menerus, seperti terlihat pada bait berikut: Samengko kang tinutur / Sembah katri kang sayekti katur / Mring Hyang Sukma suksmanen saari-ari / Arahen dipun kecakup / Sembahing jiwa sutengong Dalam rangkaian ajaran sembah Mangkunegara IV yang telah disebut terdahulu, sembah jiwa ini menempati kedudukan yang sangat penting. Ia disebut pepuntoning laku (pokok tujuan atau akhir perjalanan suluk). Inilah akhir perjalanan hidup batiniah. Cara bersucinya tidak seperti pada sembah raga dengn air wudlu atau mandi, tidak pula seperti pada sembah kalbu dengan menundukkan hawa nafsu, tetapi dengan awas emut (selalu waspada dan ingat/dzikir kepada keadaan alam baka/langgeng), alam Ilahi. Betapa penting dan mendalamnya sembah jiwa ini, tampak dengan jelas pada bait berikut : Sayekti luwih perlu / ingaranan pepuntoning laku / Kalakuan kang tumrap bangsaning batin / Sucine lan awas emut / Mring alaming lama amota. Berbeda dengan sembah raga dan sembah kalbu, ditinjau dari segi perjalanan suluk, sembah ini adalah tingkat permulaan (wong amagang laku) dan sembah yang kedua adalah tingkat lanjutan. Ditinjau dari segi tata cara pelaksanaannya, sembah yang pertama menekankan kesucian jasmaniah dengan menggunakan air dan sembah yang kedua menekankan kesucian kalbu dari pengaruh jahat hawa nafsu lalu membuangnya dan menukarnya dengan sifat utama. Sedangkan sembah ketiga menekankan pengisian seluruh aspek jiwa dengan dzikir kepada Allah seraya mengosongkannya dari apa saja yang selain Allah. Pelaksanaan sembah jiwa ialah dengan berniat teguh di dalam hati untuk mengemaskan segenap aspek jiwa, lalu diikatnya kuat-kuat untuk diarahkan kepada tujuan yang hendak dicapai tanpa melepaskan apa yang telah dipegang pada saat itu. Dengan demikian triloka (alam semesta) tergulung menjadi satu. Begitu pula jagad besar dan jagad kecil digulungkan disatupadukan. Di situlah terlihat alam yang bersinar gemerlapan. Maka untuk menghadapi keadaan yang menggumkan itu, hendaklah perasaan hati dipertebal dan diperteguh jangan terpengaruh apa yang terjadi. Hal yang demikian itu dijelaskan Mangkunegara IV pada bait berikut: “Ruktine ngangkah ngukud / ngiket ngruket triloka kakukud / jagad agung ginulung lan jagad alit / den kandel kumandel kulup / mring kelaping alam kono.” Sembah Rasa Sembah rasa ini berlainan dengan sembah-sembah yang sebelumnya. Ia didasarkan kepada rasa cemas. Sembah yang keempat ini ialah sembah yang dihayati dengan merasakan intisari kehidupan makhluk semesta alam, demikian menurut Mangkunegara IV. Jika sembah kalbu mengandung arti menyembah Tuhan dengan alat batin kalbu atau hati seperti disebutkan sebelumnya, sembah jiwa berarti menyembah Tuhan dengan alat batin jiwa atau ruh, maka sembah rasa berarti menyembah Tuhan dengan menggunakan alat batin inti ruh. Alat batin yang belakangan ini adalah alat batin yang paling dalam dan paling halus yang menurut Mangkunegara IV disebut telenging kalbu (lubuk hati yang paling dalam) atau disebut wosing jiwangga (inti ruh yang paling halus). Dengan demikian menurut Mangkunegara IV, dalam diri manusia terdapat tiga buah alat batin yaitu, kalbu, jiwa/ruh dan inti jiwa/inti ruh (telengking kalbu atau wosing jiwangga) yang memperlihatkan susunan urutan kedalaman dan kehalusannya. Pelaksanaan sembah rasa itu tidak lagi memerlukan petunjuk dan bimbingan guru seperti ketiga sembah sebelumnya, tetapi harus dilakukan salik sendiri dengan kekuatan batinnya, seperti diungkapkan Mangkunegara IV dalam bait berikut: Semongko ingsun tutur / gantya sembah lingkang kaping catur / sembah rasa karasa wosing dumadi / dadi wus tanpa tuduh / mung kalawan kasing batos. Apabila sembah jiwa dipandang sebagai sembah pada proses pencapaian tujuan akhir perjalanan suluk (pepuntoning laku), maka sembah rasa adalah sembah yang dilakukan bukan dalam perjalanan suluk itu, melainkan sembah yang dilakukan di tempat tujuan akhir suluk. Dengan kata lain, seorang salik telah tiba di tempat yang dituju. Dan di sinilah akhir perjalanan suluknya. Untuk sampai di sini, seorang salik masih tetap dibimbing gurunya seperti telah disebut di muka. Setelah ia diantarkan sampai selamat oleh gurunya untuk memasuki pintu gerbang, tempat sembah yang keempat, maka selanjutnya ia harus mandiri melakukan sembah rasa. Pada tingkatan ini, seorang salik dapat melaksanakan sendiri sembah rasa sesuai petunjuk-petunjuk gurunya. Pada tingkat ini ia dipandang telah memiliki kematangan rohani. Oleh karena itu, ia dipandang telah cukup ahli dalam melakukan sembah dengan mempergunakan aspek-aspek batiniahnya sendiri. Di sini, dituntut kemandirian, keberanian dan keteguhan hati seorang salik, tanpa menyandarkan kepada orang lain. Kejernihan batinlah yang menjadi modal utama. Hal ini sesuai dengan wejangan Amongraga kepada Tambangraras dalam Centini bait 156. Sembah tersebut, demikian dinyatakan Amongraga, sungguh sangat mendalam, tidak dapat diselami dengan kata-kata, tidak dapat pula dimintakan bimbingan guru. Oleh karena itu, seorang salik harus merampungkannya sendiri dengan segala ketenangan, kejernihan batin dan kecintaan yang mendalam untuk melebur diri di muara samudera luas tanpa tepi dan berjalan menuju kesempurnaan. Kesemuanya itu tergantung pada diri sendiri, seperti terlihat pada bait berikut: Iku luwih banget gawat neki / ing rarasantang keneng rinasa / tan kena ginurokake / yeku yayi dan rampung / eneng onengira kang ening / sungapan ing lautan / tanpa tepinipun / pelayaran ing kesidan / aneng sira dewe tan Iyan iku yayi eneng ening wardaya.