Kamis, 12 Juli 2012



ASAS CABOTAGE
(Inpres No.5 Tahun 2005)

Berlakunya United Nation Conventian On The Law Of The Sea (UNCLOS 1982) konfigurasi perairan Indonesia meliputi ; perairan pedalaman (internal water), perairan kepulauan (archipelagic water), laut wilayah (territorial sea), zona tambahan (contiguous zone), landas kontinen (continental shelf) dan zona ekonomi eksklusif (zona economi exclusive). Wilayah laut yang menjadi kedaulatan Indonesia adalah Perairan kepulauan seluas 2,8 juta km2 dan laut wilayah seluas 0,366 juta km2. sedangkan zona ekonomi esklusif seluas 2,7 juta km2. dengan demikian luas wilayah yurisdiksi laut nasional Indonesia adalah 5,8 juta km2. Bagi bangsa Indonesia, laut dan perairan secara alami menjadi lingkungan kehidupan yang mempunyai arti/fungsi sebagai : (1) media pemersatu bangsa, (2) media perhubungan (3) media penggalian sumberdaya alam dan (4) media pertahanan (Soebijanto, 2004: 51-52).
Kenyataan geografis Indonesia merupakan negara kepulauan, dimana antara pulau satu dengan pulau lainya dihubungkan oleh laut dan selat. Gambaran ini setidaknya menempatkan sektor kelautan menjadi sektor penting. Dari sudut ekonomi pentingnya laut dapat dilihat dari : (1) potensi sumberdaya alam yang terkandung di dalamnya dan (2) potensi pemanfaatan laut sebagai prasarana transportasi antar pulau (Hamid, 2004:28). Dari kedua potensi tersebut, potensi kedua yakni pemanfaatan laut sebagai prasarana transportasi menjadi potensi yang paling penting jika berbicara masalah pelayaran nasional. Karena angkutan laut sangat dominan dan memiliki nilai strategis yang mendasar dalam arti ekonomi bagi kehidupan bangsa dan negara Republik Indonesia (Sinaga, 1995:20).
Pentingnya trasportasi tercermin pada penyelenggaraannya yang mempengaruhi semua aspek kehidupan bangsa dan negara serta semakin meningkatnya kebutuhan jasa angkutan bagi mobilitas manusia dan barang dalam negeri serta dari dan ke luar negeri. Di samping itu, traspotarsi juga berperan sebagai penunjang, pendorong, dan penggerak bagi pertumbuhan daerah yang berpotensi namun belum berkembang, dalam upaya peningkatan dan pemerataan pembangunan serta hasil-hasilnya.
Kelancaran transportasi, dapat mendukung dan membantu pemantapan kawasan wilayah Indonesia dalam rangka perwujudan wawasan nusantara dan membantu pencapaian sasaran pembangunan nasional di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya dan pertahanan keamanan serta merangsang pembangunan daerah melalui pengembangan potensi ekonomi (Siregar, 1981:118).
Peranan transportasi dalam perekonomian Indonesia cukup signifikan. Sebagai contoh pada tahun 2002, lebih dari 99 persen kegiatan ekspor-impor sebesar 296 juta ton dan 95 persen dari ekspor-impor tersebut senilai US $ 88,4 miliar diangkut dengan mengunakan transportasi laut. Potensi pasar yang begitu besar bagi armada pelayaran nasional di angkutan ekspor-impor sebesar 296 juta ton dan juga angkutan dalam negeri sebanyak 143,4 juta ton, belum sepenuhnya dimanfaatkan oleh armada pelayaran nasional. (RPJMN, 2005:403). Melihat kondisi pelayaran nasional yang demikian, maka optimalisasi potensi laut sebagai prasarana transportasi/pelayaran menjadi sangat penting untuk dilakukan, yang setidaknya melibatkan kepaduan peran antara pemerintah sebagai pembuat keputusan (decision maker) dan perusahaan pelayaran nasional yang dipercaya melakukan berbagai aktivitas pelayaran di Indonesia.
Dalam rangka menjamin terlaksananya pelayaran nasional dan kemajuan pelayaran nasional, pemerintah sebagai pembuat keputusan telah mengeluarkan beberapa peraturan perundangan dalam berbagai bentuk, di antaranya adalah : PP 17/1988 tentang Penyelenggaraan dan Pengusahaan Angkutan Laut, yang kemudian diganti PP 82/1999 tentang Angkutan di Perairan, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran, Keputusan Menteri Perhubungan Nomor : KM. 33 Tahun 2001 tentang Penyelengaraan dan Pengusahaan Angkutan Laut, Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 5 Tahun 2005 tentang Pemberdayaan Industri Pelayaran Indonesia dengan menerapkan asas cabotage dan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor : KM. 71 Tahun 2005 pengangkutan barang/muatan antarpelabuhan laut di dalam negeri.
Asas cabotage merupakan sebuah asas yang mengandung makna bahwa muatan dalam negeri harus diangkut dengan menggunakan jasa angkutan dari kapal-kapal nasional milik perusahaan nasional (Hamid, 2004:31). Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk memberikan perlindungan dan usaha dalam negeri serta mengurangi ketergantungan pada pihak asing (Ibid, 2004:32). Namun terpuruknya peran armada pelayaran nasional dalam mengangkut muatan untuk angkutan dalam negeri, maka pemerintah memberi kelonggaran/mengijinkan kepada perusahaan angkutan laut nasional untuk menggunakan kapal asing dengan berbagai persyaratan, walaupun dalam undang-undang dan peraturan lainya secara eksplisit diberlakukan asas cabotage.
Dikeluarkan Inpres No.5 Tahun 2005 dan Permenhub No. KM 71 Tahun 2005 secara tegas dinyatakan bahwa muatan antar pelabuhan di dalam negeri harus diangkut dengan menggunakan kapal berbendera Indonesia yang dioperasikan oleh perusahaan angkutan laut nasional. Implementasi asas cabotage sesuai Inpres No 5 Tahun 2005 tersebut harus dilaksanakan dengan optimal untuk melindungi pelayaran dalam negeri dan perekonomian Indonesia.

UPAYA PENANGGULANGAN IMIGRAN GELAP DI LAUT SELATAN GUNA MENINGKATKAN EKSISTENSI TNI AL DI PROVINSI DIY




ABSTRAK

Pergolakan politik dan ekonomi global mengakibatkan negara-negara di kawasan timur tengah yang mengalami krisis multi dimensi, sehingga menyebabkan migrasi penduduk ke negara lain (Australia) dengan melalui jalan udara dan laut. Kondisi geografi laut selatan Provinsi DIY yang memiliki posisi strategis sebagai jalur pelayaran internasional dan berbatasan langsung dengan Australia memberikan peluang bagi para pelaku kejahatan di laut, termasuk aksi penyelundupan imigran gelap dari Timur tengah menuju Australia. Lemahnya pengawasan oleh aparat penegak hukum di laut khususnya Lanal Yogyakarta merupakan salah satu faktor timbulnya keinginan para pelaku kejahatan untuk melaksanakan aksinya. Di sisi lain, taraf hidup masyarakat nelayan yang tinggal di daerah pesisir sebagian besar hidup dibawah garis kemiskinan sehingga dengan mudah untuk dipengaruhi dengan melakukan kegiatan yang melanggar hukum tanpa mereka harus tahu akibat buruknya. Terjadinya pelanggaran hukum di perairan laut selatan DIY disebabkan oleh beberapa faktor antara lain : konstelasi geografi laut selatan DIY yang terbuka sebagai jalur pelayaran internasional, taraf kehidupan masyarakat pantai yang masih rendah, keterbatasan sarana dan prasarana patroli serta sistem penanggulang yang masih belum memadai sehingga hal ini sangat merugikan eksistensi TNI AL di provinsi DIY. Penanggulangan imigran gelap di perairan laut selatan DIY seharusnya ditangani secara bersinergi dengan melibatkan berbagai instansi terkait, melalui upaya pencegahan dini serta upaya penindakan secara terpadu. Upaya dan langkah strategis dalam menanggulangi imigran gelap di laut selatan harus direalisasikan dengan melaksanakan peningkatan sarana dan prasarana penanggulangan, peningkatan sumber daya manusia, penentuan pola operasi patroli, peningkatan kerjasama secara internal maupun eksternal yang didukung dengan sistem jaringan informasi (information network) yang handal dalam rangka meningkatkan eksistensi TNI AL di wilayah Provinsi DIY.


BAB I
PENDAHULUAN

1. U m u m .
Pergolakan politik dan ekonomi global banyak mempengaruhi negara-negara didunia, demikian juga dengan negara-negara di kawasan timur tengah. Akibat dari hal tersebut maka rakyat di timur tengah mengalami kesulitan ekonomi dan terjadi krisis multidimensi yang tak kunjung berhenti sehingga menyebabkan sebagain penduduk di timur tengah mengadakan migrasi ke Negara lain untuk mencari penghidupan yang dianggap lebih layak dan mencari suaka politik. Negara yang menjadi tujuan mereka adalah Negara Australia. Perjalanan migrasi menuju Australia biasanya transit di negara-nagara tertentu yang dianggap aman untuk sampai di Negara tujuan. Negara Indonesia merupakan salah satu Negara yang dipilih menjadi tempat transit. Imigran yang masuk di Indonesia biasanya melalui pintu masuk udara ataupun melalui laut.
Kondisi perairan selatan Pulau Jawa khususnya Daerah Istimewa Yogyakarta tergambar melalui perairan yang merupakan daerah hukum Lanal Yogyakarta dan Lantamal V Surabaya. Perairan tersebut merupakan jalur lintasan bagi kapal-kapal asing yang menuju Australia atau sebaliknya melalui ALKI I atau perairan barat Sumatera. Dalam konsep tata ruang kawasan pertahanan laut TNI AL, perairan tersebut merupakan wilayah Daerah Operasi IV yang meliputi Samudera Hindia, perairan bagian utara Sumatera, perairan pantai barat Sumatera, dan perairan Selatan Jawa dengan ciri khas adanya kecenderungan peningkatan pelanggaran di laut. Beberapa kejadian yang ada di wilayah perairan Daerah Istimewa Yogyakarta adalah masuknya imigran asal timur tengah hingga ke daratan. Dengan demikian sudah menjadi tugas dan kewajiban Lanal Yogyakarta sebagai penegak hukum di laut wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta khususnya untuk melakukan pencegahan dan tindakan terhadap perbuatan yang melanggar hukum bagi kapal yang mengangkut imigran dan melakukan pelayaran di sepanjang perairan tersebut guna menjamin keamanan dan ketertiban hukum di laut selatan Daerah Istimewa Yogyakarta. Namun demikian ketika diwilayah hukum tersebut tidak ada sarana dan prasarana pendukung operasi keamanan laut dan kondisi alam yang spesifik dengan keterbatasan alut patroli yang dimiliki oleh penegak hukum maka akan menimbulkan dampak tidak efektifnya penegakan hukum diwilayah tersebut.
Peranan dan keberadaan Lanal Yogyakarta dalam hal ini di pertanyakan karena sebagai aparat penegak hukum dan kedaulatan di laut yang seharusnya mampu mencegah terjadinya pelanggaran di laut tidak mampu melaksanakan tugasnya secara optimal. Dengan segala keterbatasan yang dimiliki, Lanal Yogyakarta harus mengambil langkah strategis dalam menangani permasalahan ini. Lanal Yogyakarta sebagai penanggungjawab keamanan wilayah laut tersebut diharapkan dengan berbagai upaya yang telah, sedang dan akan dilaksanakan secara terus menerus dapat menanggulangi masalah imigran gelap di laut selatan DIY, sehingga mampu menunjukkan eksistensinya di Provinsi DIY.






KONSEPSI PENGAMANAN WILAYAH PERBATASAN LAUT RI-RDTL



KONSEPSI PENGAMANAN WILAYAH PERBATASAN LAUT RI-RDTL GUNA MENEGAKKAN HUKUM DAN KEDAULATAN NEGARA DALAM RANGKA MENJAGA KEUTUHAN WILAYAH NKRI


BAB I
PENDAHULUAN


1. Umum.
Referendum rakyat Timor Timur yang di fasilitasi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada bulan Agustus 1999 telah mengantar bekas Provinsi ke 27 Republik Indonesia menjadi sebuah negara yang merdeka pada tanggal 20 Mei 2002. Berdirinya Republik Demokratik Timor Leste (RDTL) telah memenuhi persyaratan konstitutif dan deklaratif, secara hukum dan politik terpisah dari negara Republik Indonesia. Implikasi terlepasnya Provinsi Timor Timur dari Republik Indonesia sesuai hasil referendum pada tahun 1999, maka muncul permasalahan baru bagi negara RI-RDTL, yakni permasalahan tentang delimitasi batas wilayah negara, baik wilayah darat maupun wilayah laut.
Pengamanan laut di wilayah perbatasan merupakan upaya perlindungan terhadap eksistensi negara yang ditandai dengan terlindunginya kedaulatan, penduduk dan wilayah dari pelbagai jenis ancaman. Konsepsi ini adalah bagian dari satu pemahaman totalitas mengenai konsep ‘keamanan nasional’ yang intinya adalah “kemampuan negara melindungi apa yang ditetapkan sebagai nilai-nilai inti (core values), dimana pencapaiannya merupakan sebuah proses terus-menerus (sustainable), dengan menggunakan segala elemen power dan resources yang ada serta melingkupi semua aspek kehidupan"
Secara faktual, keamanan di laut memiliki dua dimensi, yaitu dimensi penegakan kedaulatan dan dimensi penegakan hukum, sehingga diperlukan suatu pemahaman bagi segenap komponen bangsa, struktur organisasi serta prosedur dan mekanisme penyelenggaraaan keamanan di laut yang melibatkan berbagai instansi yang memiliki kewenangan dalam penegakan kedaulatan dan penegakan hukum dilaut dan sistem keamanan laut harus dibangun dengan prinsip mensinergikan kekuatan yang dimiliki oleh berbagai instansi penyelenggara pengamanan di laut. Sinergi kedua aspek tersebut dapat dilihat dari kesatuan yang tercermin dalam struktur organisasi, mekanisme, dan prosedur aparat penyelenggara keamanan di laut, karena penegakan kedaulatan di laut juga mempunyai dua dimensi pemahaman, yakni dimensi pemahaman kedaulatan (sovereignity) dan hak berdaulat (sovereign right) di laut suatu negara yang telah diatur secara universal dalam UNCLOS 1982.
Pengamanan wilayah perbatasan laut antara RI-RDTL secara khusus saat ini belum ada suatu operasi baru, namun operasi pengamanan yang ada di wilayah perairan dan perbatasan RI-RDTL dibackup oleh bebarapa operasi. Gelar pangkalan di pulau-pulau terluar (Pos Pengamat TNI AL) diwilayah perbatasan RI-RDTL secara administratif dibawah Lantamal VII, memiliki kondisi yang masih sangat memprihatinkan baik sarana prasarana yang dimiliki, akomodasi maupun pengawak posal-posal masih belum terpenuhi serta tidak memiliki kemampuan maksimal untuk melaksanakan pengamatan, pengawasan maupun untuk melaksanakan patroli, sementara tuntutan tugas yang diemban oleh para penegak hukum di laut harus mampu menegakkan kedaulatan dan hukum di perbatasan .
Berbagai upaya pengamanan perbatasan laut RI-RDTL yang telah dilaksanakan untuk menegakan kedaulatan dan hukum, masih belum memiliki hasil yang cukup signifikan, karena itu sangat mendesak untuk dibentuk suatu operasi pengamanan perbatasan laut RI-RDTL. Pembentukan satuan tugas operasi ini perlu dirumuskan dan disusun dalam suatu konsepsi pengamanan wilayah perbatasan laut RI-RDTL guna menegakkan hukum dan kedaulatan negara dalam rangka menjaga keutuhan wilayah NKRI.